Wednesday, August 29, 2012

Menjadi Jutawan Berkat Prinsip Bisnis Itu Ibadah

Ide untuk mendirikan sebuah usaha baru bisa berasal dari mana saja. Tetapi, untuk menjalani usaha tersebut, setiap orang perlu kerja keras. Ini dibuktikan oleh Saptuari Sugiharto, pria lajang 29 tahun, alumni Fakultas Geografi UGM tahun 2004. Berkat kerja kerasnya, dia berhasil mengembangkan ide menjadikan Kedai Digital yang kini sangat digandrungi oleh kawula muda di berbagai kota besar di Indonesia.
Saptuari mendirikan Kedai Digital tahun 2005 di Yogyakarta. Empat tahun kemudian, usaha yang memproduksi berbagai merchandise ini sudah memiliki 28 outlet di 20 kota di seluruh Indonesia. Jumlah karyawannya sudah mencapai 210 orang. Jumlah omsetnya sudah mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
***
Sebelum menggeluti usaha merchandise, Saptuari sudah mencoba peruntungannya lewat berbagai usaha. Dia melakukannya saat dia masih berstatus menjadi mahasiswa UGM. Semua itu dia lakukan karena keterbatasan ekonomi keluarganya.
Saya dari kecil jadi anak yatim. Ayah saya meninggal waktu saya kelas 5 SD. Ibu saya hanya pedagang kecil di pasar Lempuyangan. Jadi saya berwirausaha bukan karena faktor keturunan, sepertinya faktor pendorong terbesar ya kepepet itu, kata Saptuari.
Sejak kuliah tahun 1998, Saptuari bergonta-ganti profesi. Dia pernah menjadi penjaga penitipan tas di Kopma UGM. Dia pernah menjadi peternak dan penjual ayam kampung potong. Dia juga pernah menjadi pemasok sticker di Kopma berbagai kampus. Dia pernah pula menjadi marketing radio Swaragama. Dia bahkan menjadi event organizer (EO) untuk pentas musik.
Saat menjadi EO inilah, Saptuari memperoleh ide memproduksi berbagai merchandise. Waktu itu tahun 2003. Dalam sebuah kegiatan konser musik, dia melihat penonton berantem gara-gara rebutan merchandise milik salah seorang artis. Pada saat itu, dia sempat turun tangan untuk melerai. Dia pun lantas berpikir, merchandise sangat digemari orang.
Saya berfikir, kok rebutan merchandise saja seperti orang rebutan makanan. Harusnya merchandise ini bisa dimiliki semua orang, bukan hanya hak milik artis atau brand perusahaan tertentu. Siapa pun berhak punya merchandise sendiri. Konsep merchandise untuk semua itu yang saya bawa ketika mendirikan usaha Kedai Digital di tahun 2005, ujar Saptuari.
Sekalipun Saptuari punya ide, dia tidak memiliki modal yang cukup. Dia lantas menggadaikan satu-satunya motor butut milik ibunya untuk mendapatkan dana dari Bank. Dia nekad meminjam uang demi merealisasikan ide gilanya untuk terjun menjadi wirausaha.
Saya memulai usaha Kedai Digital bukan dari nol, tapi dari minus. Soalnya hampir 100% modal saya dapatkan dari hutang di bank. Motor butut dan rumah milik ibu saya serta semua suratnya saya sekolahkan di bank. Nekat, tapi justru inilah sumber energi terbesar saya untuk berwirausaha. Orang kalau sudah kepepet, terpaksa untuk kreatif, berfikir dan bergerak jauh lebih cepat dari mereka yang tidak kepepet, kata pria kelahiran Yogyakarta 8 September 1979 ini.
***
Saptuari mengaku bahwa pada awalnya usaha merchandise-nya tidak memperoleh sambutan. Dia ingat, pada awal berdirinya Kedai Digital, merchandise-nya tidak laku. Lihatlah, dalam seminggu dia hanya berhasil menjual 5 buah mug. Namun dia tidak putus asa. Sebaliknya dia merasa makin tertantang. Tetapi, baru setahun berjalan, Kedai Digital terkena gempa. Ruang belakang kedainya ambruk, komputer, scanner, dan beberapa peralatan hancur lembur.
Kami di Kedai Digital optimis saja bahwa bisnis ini bisa terus berjalan, selama kami terus berinovasi dan pandai menggaet pasar. Insya Allah ladang bisnis selalu terbuka lebar, tandasnya.
Saptuari kemudian melakukan edukasi pasar secara terus menerus. Dengan demikian dia bisa memperkenalkan bisnis merchandising yang memang tidak lazim dikenal masyarakat.
Kami memakai istilah narsis. Kami gembar-gemborkan bahwa sifat narsis yang dikelola secara positif bisa untuk menunjukkan kasih sayang dan merchandise adalah produk yang tepat untuk menggungkapkannya. Ternyata respons pasar sungguh luar biasa. Mereka open terhadap hal-hal baru, ujarnya.
Sebagai bisnis baru, kata Saptuari, Kedai Digital harus menguasai hulu dan hilir bisnis ini. Jadi kesulitan pertama adalah soal bahan baku yang tidak konsisten. Ketika permintaan mulai meningkat dan bahan baku kosong, dia harus berfikir keras untuk bisa memenuhi permintaan pasar. Kembali harus hutang di bank untuk menambah aset. Dia pun merekrut anak-anak muda di desanya yang menganggur untuk ikut bergabung di Kedai Digital Supplies yang khusus memproduksi bahan baku untuk dikirim ke semua cabang.

***
Diakui Saptuari, omset bagi dirinya adalah nomor sekian. Yang menjadi perhatian utamanya adalah memutar modal yang hampir 100 % adalah pinjaman di bank. Bagi saya sendiri, yang penting bisnis bisa berputar, produk laku dijual, karyawan bisa menerima gaji tepat waktu, cicilan bank terbayar dan plafon pinjaman untuk usaha naik, sehingga usaha berkembang. Itu sudah merupakan kebahagian yang luar biasa,tandasnya.
Melihat bisnisnya tumbuh dan bisa mengurangi beban pengangguran, Saptuari sudah senang. Dia juga bangga, tujuannya tercapai. Sebab, sejak semula, saya berprinsip bisnis untuk ibadah, katanya.
Jangan kaget, saya sangat merasa nyaman hanya dengan membawa uang 20 ribu dan nongkrong makan sate usus di angkringan. Hidup apa adanya saja, katanya.
Atas kegigihan dan kesuksesan yang diraihnya sekarang ini, banyak kalangan yang menilai bahwa dia menjadi wirausaha muda yang sukses. Bahkan dia diminta oleh salah satu ikon dari salah satu Bank Nasional untuk memberikan motivasi kepada para pemuda dan mahasiswa untuk berkarir menjadi pengusaha.
Tahun 2007, Saptuari dinobatkan meraih juara 2 Wirausaha Muda Mandiri Tingkat Nasional. Setahun kemudian, 2008 dia mendapat penghargaan ISMBEA (Indonesia Small and Medium Business Entrepreneur Award) dari majalah Wirausaha dan Keuangan.
Saya jadikan ini sebagai penyemangat, bahwa eksistensi kecil yang bisa saya lakukan mendapat pengakuan dari pihak luar. Dan saya harus melakukan hal-hal lain yang bisa terus menjaga eksistensi itu, ujarnya.
Diakui Saptuari, berbagai pengalaman dengan para mahasiswa adalah pekerjaan rumah baginya selanjutnya. Dia mengaku, sepanjang tahun 2008 dia telah mengisi lebih dari 60 seminar entrepreneur dari Medan, Makassar, Bandung, Bontang. Dan di beberapa Kampus seperti UGM, ITB, UNDIP, UNAIR yang pernah mengundang dirinya.
Di depan ratusan mahasiswa saya berusaha meyakinkan, bahwa mereka harus bergerak lebih cepat selagi belum diwisuda. Untuk menjadi entrepreneur, mereka harus yakin dan siap berdarah-darah untuk meraih mimpinya. Tidak ada yang datang dengan sia-sia, asal mereka konsisten dengan jalan mereka berwirausaha, jelasnya.

sumber : http://www.ugm.ac.id/index.php?page=headline&artikel=408
 

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...